topbella

Rabu, 01 Desember 2010

Tpw menghitung Momentum

uses wincrt;
var
m,v,Hsl:real;
Begin
write ('masukkan massa:');Readln(m);
write ('masukkan kecepatan:');Readln(v);
Hsl:=m*v;
writeln ('hasilnya adalah:',Hsl:2:2);
end.

Selasa, 19 Oktober 2010

Perempuan Shalihah

Apa ukuran shalihah untuk seorang perempuan? Apakah perempuan shalihah itu: jilbabnya melambai-lambai menutupi dada; bergamis panjang nan bersahaja; aktivis organisasi pergerakan tertentu; aktif berdakwah sana-sini, rajin mengikuti pengajian ini itu, punya banyak murid binaan atau... Kita seringkali memberi label perempuan shalihah seperti itu. Dari sesuatu yang tampak. Memang hal tersebut bisa menjadi ukuran, tapi salah jika kita hanya mengukur keshalihan seseorang hanya dari yang terlihat. Mari kita simak hadits berikut:
Seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi saw, lalu Nabi saw bertanya (kepada para sahabatnya), bagaimana pendapat kalian tentang laki-laki ini? Mereka (para sahabat) menjawab, “laki-laki ini pantas jika melamar dinikahkan, jika meminta tolong ditolong, dan jika berkata didengar,”
Nabi diam. Kemudian lewat lagi laki-laki muslim dari kalangan kaum fakir miskin, maka Nabi saw. Bertanya, “bagaimanakah pendapat kalian tentang laki-laki ini?”
Mereka menjawab, “laki-laki ini pantas jika melamar ditolak lamarannya, jika meminta tolong tidak diberi pertolongan, dan jika berkata tidak didengar.”
Maka Rasulullah saw bersabda, “Laki-laki yang terakhir ini lebih baik daripada sepenuh bumi laki-laki seperti itu. “ (HR. Bukhari)
Dari hadist di atas ada satu hal yang bisa kita renungkan. Penilaian kita terhadap seseorang terkadang berbanding terbalik dengan derajatnya di hadapan Allah SWT. Kita seringkali berlebihan menilai seseorang, padahal ia belum tentu baik. Sedangkan orang yang kita remehkan ternyata derajatnya beberapa kali lebih tinggi daripada kita sendiri. Kalau begitu, ukuran apa yang bisa kita pakai untuk menilai kesalihan seseorang. Perhatikan lagi hadist berikut ini.
“Seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah banyak mengerjakan shalat, mengeluarkan sedekah, dan berpuasa (sunnah), namun ia suka menganggu tetangganya dengan ucapannya,’ Beliau berkata, ‘Wanita itu masuk neraka.’
Seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, kabarnya si Fulanah sedikit mengerjakan puasa sunnah dan ia hanya bersedekah dengan sedikit makanan, namun ia tidak pernah mengganggu tetangga-tetangganya.’ Beliau berkata, ‘Wanita itu masuk surga.’” (HR Ahmad, al-Bazzar, dan Ibnu Hibban dalam shahih-nya. Al-Hakim berkata, “Sahih isnadnya.” Dan. Diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abi Syaibah dengan isnad sahih pula)
Hadist lain yang memberikan ukuran keshalihan seseorang masih banyak. Tapi dari hadis di atas saja, cukuplah kita menarik kesimpulan, bahwa seseorang yang kita nilai taat beragama, rajin beribadah dan seolah-olah dekat dengan Tuhannya, malah termasuk orang-orang tercela; calon penghuni neraka.
Seorang perempuan yang shalih individual belum cukup. Ia juga harus mampu bersosialisasi dengan lingkungannya, memberikan pengaruh baik untuk sekitarnya. Bukankah ia akan menjadi ibu, sekolah pertama bagi anak-anaknya? Jika ia menjaga jarak dengan lingkungan di sekitarnya, bisa-bisa anak-anaknya akan ikut terisolasi pula. Memang sih, mendidik bukan hanya urusan perempuan; istri. Ayah atau suami juga harus turut ambil bagian. Masalahnya sebagian besar waktu anak akan lebih banyak habis bersama ibunya. Seorang Ibu yang shalih luar-dalam, pribadi maupun sosial, insya Allah akan mencetak anak-anak yang shalih secara menyeluruh pula.

 
AmheL itu PrincesS© Diseƃ±ado por: Compartidisimo